Jumat, 23 Juli 2010

Surat untuk Mu


Saat masuk yang kulihat hanya lidah-lidah api membara, yang kudengar hanya teriakan menusuk telinga. Yang ku cium hanya bau gosong. Apa aku salah pintu?
***
Dear my Lord…
4 hari yang lalu, Kau bakar tubuh ku dengan api neraka. Karena aku suka bersetubuh dengan wanita yang tidak semestinya aku setubuhi.
Keesokan harinya, Kau potong lidah ku dengan pedang yang sangat besar.  Karena aku suka bergunjing dan menfitnah musuh-musuh ku, terkadang juga teman ku.
Keesokan harinya lagi, Kau congkel mataku dengan jarum yang sangat tipis. Karena aku suka pergi ke etaslase wanita tak berpakaian. Merogoh kantong. Menghitung lembaran-lembaran uang, jika cukup aku akan masuk dan ‘menyewa’ salah satunya.
Dan kemarin aku menemukan keajaiban di sini. Selembar kertas dan sebuah pulpen. Selama hidupku aku telah puluhan tahun menjadi editor buku. Tanpa mata aku mampu mengenali kertas dan pulpen. Tanpa mata pula aku masih bisa menulis surat ini untuk Mu. Selama hidupku di dunia aku menjadi editor  penerbit buku keagamaan. Berbagai buku karangan ulama-ulama ataupun pendeta-pendeta aku percantik. Aku ubah lebih menyentuh. Lebih mudah dipahami. Aku yakin Kau tahu itu. Tuhan, mungkin Kau lupa menghitung jumlah orang yang membaca buku yang aku edit hingga mereka bertobat atau semakin ikhlas menyembah Mu. Sepertinya itu bisa memindahkan ku dari tempat ini.
Trims my lord. Telah meletakkan kertas dan alat tulis ini. Sejujurnya, aku penasaran. Tadi aku meletakkan kertas ini di atas lidah api yang 4 hari lalu menggosongkan tubuh ku. Biarlah, logika ku tidak sampai. Lidah api ini tidak merusak kertas sedikit pun. Mungkin Kau menggunakan bahan khusus untuk membuat kertas ini tahan api.
Untung lah aku masih bisa menulis dengan tangan yang belum Kau potong.
***
Dear my Lord,
Terima kasih sudah membalas surat ku. Kemarin aku membaca surat Mu yang Kau  tulis dengan huruf brailer. Sepertinya Kau masih ingat saat usiaku 34 tahun aku mengalami kecelakaan mobil beruntun, untung lah aku masih hidup. Aku lupa sebaiknya tidak mengemudi saat mabuk. Dari kejadian tersebut saraf mataku terputus. Tidak berfungsi. Berbagai terapi alternatif, obat herbal, obat kimia, operasi penyambungan saraf hingga dukun di perkampungan tidak ada yang berguna. Aku masih saja melihat kain hitam yang melekat di mata ini. Aku pun jadi malas melakukan pengobatan lagi, sehingga aku belajar huruf baru ini. Aku ingat, setelah 1 tahun dan aku sudah menguasai huruf ini Kau memberi keajaiban. Mata ku kembali berfungsi, dokter-dokter yang ku kunjungi hanya bisa geleng-geleng kepala (membuat ku tergoda untuk memenggalnya).
Kau tulis dalam surat itu, jumlah orang yang membaca buku hasil editan ku masih kurang untuk memindahkanku dari tempat ‘gila’ ini.
Kemarin setelah aku membaca surat Mu, utusan Mu datang. Ia cabut gendang telinga ku dengan tangannya sendiri, entah bagaimana tangannya bisa masuk ke lubang telinga yang kecil ini. Awalnya geli tangan itu masuk, setelah itu rasanya aku ingin pingsan. Sakit sekali. Sebelum pencabutan itu utusan Mu menjelaskan karena aku suka mendengar penderitaan tetangga ku tetapi aku selalu pura-pura tidak mendengar. Pura-pura tidak tahu. Terkadang aku menggunakan apa yang aku dengar untuk bergunjing dengan serunya bersama teman-teman ku. Aku ingat, sangat seru waktu itu.
Sebelum ia cabut gendang telinga ku, ia mengatakan serenteran agenda penyiksaan untuk ku.
Besok tangan ku akan di potong dengan pedang yang digunakan untuk memotong lidah ku beberapa hari yang lalu. Karena aku suka memukul istri ku.
Keesokan harinya, ia akan mencabut hati ku. Karena aku jarang memakainya ketika di dunia. Tidak ada gunanya memiliki sesuatu yang tidak kau manfaatkan, jelasnya.
Maaf jika tulisan ku kali ini berantakan. Aku terburu-buru. Khawatir, utusan Mu datang  sebelum surat ini selesai ku tulis. Aku belum punya ide cara menulis surat untuk Mu jika tangan ini dipotong. Saat di dunia Kau belum pernah memberi ilmu kepada ku cara menulis dengan kaki, bukan? Atau dengan mulut?
Surat ini mungkin bisa menjadi surat terakhir ku untuk Mu. Dan bisa jadi ini cara terakhir ku memohon pertolongan Mu. Permohonan terakhir ku, ceritakan surat ku ini pada rasul-rasul Mu di dunia. Setelah itu tolong hitung orang-orang yang membacanya, mungkin jumlahnya bisa memindahkan ku.
Trims my Lord…
Hei, sepertinya utusan Mu sudah datang. Ada yang menepuk pipi ku. Tepat waktu sekali dia.
***
Tadi kaki ku dipotong utusan Tuhan. Dulu aku tidak menggunakan kaki ini untuk beribadah. Lebih sering menendang hamba Tuhan yang sedang beribadah. Istriku.
Bisa bayangkan diriku sekarang. Tanpa bola mata. Tanpa lidah. Kuping yang terus mengeluarkan nanah. Tanpa tangan. Berbadan bolong karena saat utusan Tuhan mencabut hatiku ia  justru membolongi tubuhku. Seandainya ia memanfaatkan lubang-lubang yang sudah ada di tubuh ini. Dan sekarang tanpa kaki. Ha ha ha, aku jadi teringat pernah meludahi seorang bocah berpenampilan seperti ini. Si cebol, aku menyebutnya. Anakku. Saat itu aku sudah tidak tahan melihat penampilannya.
Utusan Tuhan itu memegang pundak ku. Aku hanya diam karena tidak tahu apa yang dia lakukan. Sesaat kemudian ia tempelkan sesuatu ke badan ku. Entah apa itu. Badan ku yang sudah melepuh ini tidak lagi dapat membedakan sesuatu.
Apakah itu surat balasan dari Tuhan?
Tuhan, jangankan membalas surat Mu kali ini. Membaca surat Mu saja aku sudah tidak bisa.
***
Itu penyiksaan terakhir untuk mu. Bersabarlah di sini. Ada waktunya penyiksaan ini berakhir. Ini ada surat balasan dari Tuhan. Ah, aku sudah banyak memotong tubuh mu, mencongkel mata mu. Pasti kau tidak bisa membaca surat ini. Baik lah, aku baca kan saja.
Wahai hamba ku. Percuma kau edit buku-buku keagamaan. Banyak orang tergugah hatinya setelah membaca buku-buku tersebut. Tetapi kau sendiri tidak paham. Aku sudah tidak mengutus rasul di muka bumi. Kiamat sudah terjadi.
Ah, aku lupa gendang telingamu sudah dicabut. Sia-sia. Kau simpan saja surat ini.
***
Aku sendiri. Merasa sendiri. Seandainya, aku dilahirkan menjadi wanita jalang yang beruntung bertemu anjing malang. Cukup ku beri makan seadanya anjing tersebut. Seingat ku dari buku yang ku baca wanita itu masuk surga. Beruntungnya dia. Apakah aku pernah bertemu ‘anjing-anjing’ malang? Tidak. Di daerah ku mereka hanyalah hewan-hewan najis yang hanya layak menderita dilempari batu-batu. Sama menderitanya dengan ku saat ini. Terbuang dan tidak berarti. Ada yang mau menolong ku, si ‘anjing’ malang ini? bisa jadi kalian masuk surga setelah menolong ku.
Akan ku tunggu, sampai kalian datang…
Jatinangor, 5 Juli 2010

Selasa, 13 Juli 2010

Kenapa Hujan?


Sudah 3 hari ini hujan selalu turun di sore hari. Membuat ku terjebak di halte reot dengan atap bocor. Menyebalkan juga mengalami kejadian seperti ini berturut-turut. Pagi terlalu cerah untuk dicurigai akan turun hujan, sehingga tak ku siapkan payung dalam tas. Siang terlalu terik, sehingga tak ku percepat setumpuk tugas untuk diselesaikan. Dan kembali aku terhenti di halte ini untuk ketiga kalinya.
Sebenarnya aku membawa payung lipat pagi ini. Walupun cerah, aku tidak mau tertipu lagi seperti hari-hari sebelumnya. Dan benar saja, sore ini kembali hujan. Sayang, hujan beserta angin kencang membuat payung ku tidak banyak bermanfaat, jadi ku pikir lebih baik berdiam di halte ini sambil menunggu taksi.
Kakak-adik itu duduk sekitar 1 meter di sebelah ku. Kelihatannya sore ini hujan bukan hanya mengerjai ku. Payung yang terlalu kecil untuk mereka berdua pasti tidak berguna saat ini. Sepatu mereka sudah lepek. Kasihan juga melihat mereka, bisa jadi besok mereka sakit.
Sudah 1 jam. Hujan tidak kunjung mereda. Kami hanya membeku melihat butiran-butiran air yang terbawa angin. Jalanan sepi dan taksi ku tak kunjung datang. Mata ku kosong menatap hujan, pikiran ku membayangkan kamar yang hangat, tidur berselimut hangat dan nyaman. Sampai kapan hujan ini? Sampai kapan taksi datang? “Kak, lama banget hujannya.” Keheningan terlalu pekat untuk memulai percakapan antara kakak-adik ini. “Kak!” lanjut si adik memaksa memulai percakapan. “Iya, mungkin masih lama lagi baru reda. Salah bawa payung ni. Kalo bawa yang besar pasti kita sudah di rumah.” Jawab kakak yang masih sedikit malas meladeni, tetapi percakapan mereka sudah dimulai.
“Kak, aku suka hujan.”
“Kenapa?”
“Dingin.”
“Iya, biasanya kalau kita pulang selalu kepanasan ya.”
Ga banyak kendaraan.”
“Kakak, juga suka hujan.”
“Kenapa,ka?”
“Jadi sepi. Waktu seperti berhenti.”
“Iya, jadi ada alasan telat pulang.”
Lamunan ku akhirnya terusik juga mendengar mereka. Selama 3 hari ini tidak pernah terpikir sedikit pun ‘apa aku suka hujan?’. Yang jelas hujan ini telah mengganggu waktu istirahat ku. Menjebak ku di halte yang sama.
“Kak, tadi di kelas teman aku bacain puisi tentang hujan.”
“Mmm.. judulnya apa?”
“’Hujan di Laut’.”
“Kemarin, kakak baca cerpen tentang hujan. Judulnya ‘Kaki Tangan Hujan’.”
“Kenapa ya, kak? Hujan suka jadi tema tulisan.”
“Kakak juga ga tau. Kita suka hujan, mungkin banyak orang yang juga suka hujan.”
Dari sudut mata ku perhatikan mereka. Sedikit terbesit di ingatan ku tentang sejumlah hujan yang pernah ku alami. Sebagian memang menginspirasi ku menulis cerpen di Koran minggu, sebelum aku bekerja di kantor. Membuat ku menjalani rutinitas yang terus sama setiap harinya. Menghentikan hobi menulis ku yang sejak kecil sudah tumbuh. Kapan aku terakhir menulis?
“Dik, kita lari saja yuk! Lama hujannya. Sampai rumah langsung mandi, jadi ga sakit.”
“Sebentar lagi kak.”
“Kak, punya makanan ga? Lapar…”
“Cuma sisa makan siang, ga apa-apa?”
“Iya.”
Lamunan ku berlanjut lagi. Kapan aku terakhir menulis? Mengirimnya ke Koran. Berharap cemas di hari minggu, apakah kiriman ku dimuat? Sedikit-sedikit aku masih mengingat masa itu. Tidak banyak materi yang ku dapat dari hobi menulis, tetapi aku selalu menyukainya. Pikiran ku seperti sudah terkunci dalam rutinitas setelah gelar sarjana melekat di belakang nama ku. Awalnya melamar kerja, kemudian kerja dan kerja. Terus-menerus hingga hari ini. Suara tetesan air hujan menyentuh atap halte, menyentuh tanah, aroma hujan seketika memunculkan keheningan yang telah lama tidak lagi ku rasakan. Waktu ku terasa menjadi lapang. Ya, sudah lama rasanya.
Sebuah taksi lamat-lamat terlihat dari kejauhan. Lampu di atas-nya yang menyala menandakan taksi ini harus aku hentikan. Ku tengok sekilas kakak-adik yang sedang berlari menjauh dari halte. Semoga mereka tidak sakit besok.
“Kemana, Pak?”
Malam ini teman ku adalah laptop. Bukan selimut hangat. Aku akan menulis lagi. Aku tahu temanya.
Hujan!

Rabu, 07 Juli 2010

Sungai itu


Sungai yang sangat lapang.
Airnya mengalir pelan.
Bergelombang lembut.
2 hari yang lalu, ditemukan mayat lelaki berusia 27 tahun mengapung di atasnya.
Kemarin, mayat anjing kampung dibawa arus pelan entah kemana.

“Bu, aku mau berenang di sungai besok.”
“Jangan nak, berbahaya.”
“Arusnya pelan ko bu.”
“Di bawah air yang mengalir pelan dengan gelombang lembut itu terpendam dendam.”
“Kenapa mendendam?”
“Dendam untuk hati yang terluka.”
“Dendam yang terus merenggut korban.”

Kait pancing ku mengait sesuatu. Berat sekali. Tangkapan besar, makan enak aku hari ini.

“Ditemukan Mayat Bocah Tenggelam”
Headline koran pagi ini.