Kamis, 05 Juli 2012

Berkemasa

Sebongkah ransel terkapar di atas kasur tidur. Tatapan kosongnya mengarah ke padaku. Tubuhnya pun masih kosong, sementara tumpukan pakaian beserta berbagai peralatan berjajar di sebelahnya.
“Mengapa pula orang menamai kantong itu dengan nama ransel? Mengapa pula sore nanti benda itu harus menggantung di punggungku? Tidak bisakah ia berjalan sendiri. Bahkan ketika sedang terjaga pun aku harus was-was memikirkan keselamatannya. Mengapa pula yang namanya ransel – yang bahkan menjaga dirinya sendiri pun tidak bisa – harus ikut dalam setiap perjalananku?”. Begitulah pikiranku yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan bodoh. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan bodoh itu adalah sinyal untukku. Ya, sinyal bahwa sebentar lagi aku akan melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak aku suka. Dan pada kesempatan kali ini sesuatu itu adalah travelling.
“Siapa yang suka travelling?”. Pertanyaan macam apa itu. Tentu semua orang suka, kecuali aku. Untukku, travelling hanya indah di 2 panca indra; pertama adalah pendengaran, yaitu saat kamu mendengar cerita dari seseorang yang baru saja melakukan travelling. Sayangnya terkadang atau sebagian besar cerita membosankan dan tidak menyenangkan telah disortir untuk tidak keluar dari mulut mereka; kedua adalah penglihatan, yaitu saat kamu melihat kumpulan foto selama perjalanan mereka. Sayangnya foto adalah tipu muslihat paling menjengkelkan – sangat menjengkelkan! – karena hal yang biasa bisa terlihat luar biasa dalam bingkai foto.
Bukan hanya itu yang membuat aku tidak menyukai travelling, tetapi juga sebuah kenyataan bahwa lebih dari 80% perjalananku berisi ketersesatan, sekalipun telah kukumpulkan segenap keberanian untuk bertanya pada orang di tempat wisata. Dan kenyataan pahit lainnya bahwa biaya travelling yang aku habiskan lebih mahal dari pada mengambil paket wisata.
Aku benar-benar tidak memiliki dasar untuk menyukai travelling secara mandiri. Pengalaman itulah yang aku ajukan saat satu bulan lalu kami – aku, dan 6 teman lama – bertemu. Berjuta pertanyaan mengalir padaku, berawal dari berapa kali aku sudah melakukan travelling hingga berbagai hal detail selama perjalananku. Tentu aku tidak memiliki banyak pilihan selain meladeni pertanyaan mereka dan menghanyutkan mereka dalam fantasi melalui kedua panca indra yang tadi telah aku jelaskan. Hebatnya lagi, mereka semua langsung memutuskan saat itu juga kemana dan kapan kami harus melakukan perjalanan. Dalam hati aku hanya bisa tercengang. Lemas. Padahal aku sudah bertekad untuk tidak melakukan perjalanan sepanjang tahun ini, karena dalam perjalanan terakhirku aku terdampar di sebuah pulau di timur Sulawesi selama 1,5 bulan tanpa listrik, karena dua kapal penyebrangan mengalami kerusakan. Dari kejadian itu aku berkesimpulan bahwa berkembangnya wisata di suatu wilayah tidak dapat meningkatkan ekonomi wilayah itu, tetapi yang pasti adalah mengganggu ekonomi salah satu warga di sana karena kami telah kehabisan uang saat itu dan sangat membutuhkan uluran tangan.
Tentu aku tidak tinggal diam saat teman-temanku sudah memutuskan akan pergi kemana. Setidaknya aku tidak ingin kebodohanku selalu terulang. Aku mencoba menawarkan paket wisata. Apalagi tempat yang mereka inginkan telah sangat lazim dan banyak paket wisatanya. Nyatanya diskusi paket wisata hanya butuh waktu 5 menit untuk ditolak. Aku lemas di atas kursi.
Berkemas. Kegiatan terakhir dalam persiapan melakukan perjalanan. Kegiatan yang untukku tingkat kepentingannya terendah karena aku selalu berfikir jika perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan singkat dan tergolong dekat kenapa aku harus bawa sabun, sampo, dan peralatan lain yang sangat mudah dicari dan aku sangat yakin harganya relatif sama dimanapun. Pakaian, percayalah seberapapun banyaknya pakaian yang kalian bawa kalian akan tetap terlihat lusuh dan menyedihkan karena ribuan penderitaan dalam perjalanan, dan jangan berharap pakaian bisa membuat anda terlihat menawan, ia hanya berpengaruh sangat sedikit terhadap penampilan kita.
Telpon genggamku tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat dari Andhara.
Inget ya, jam 4 di terminal. Jangan telat!
Aku menatap lurus jam dinding yang bertengger di tembok. Jam 15.30. “Aduh, sampai dimana tadi aku berkemas? Pasti telat.”

Kamis, 08 Maret 2012

Ruang Tamu (CerBer)

Sejujurnya, hidup saya sekarang ini seperti keluar mulut singa masuk mulut buaya. Tugas-tugas menumpuk seakan menjadi masalah, selesai satu, dikejar oleh yang lain. Dan bisa secara tiba-tiba muncul lagi yang baru. Mumet. Pening. Bosan. Memang benar, solusinya adalah menyelesaikan semua urusan ini satu persatu, tetapi perjalanannya tidak mudah, bukan?

Entah bagaimana, saya merasa saat ini harus menulis sebuah cerita. Sebuah cerita yang harus selesai satu malam sekalipun besok ada kuliah pagi. Sekalipun ketika cerita itu selesai, semua urusan saya tetap tidak selesai. Mungkin hanya pelampiasan pemikiran.

***

Ardian menatap rak buku baru yang sudah seminggu ini berdiri kokoh di pojok ruang tamu dekat jendela geser. Sebuah rak buku besar dengan enam rak. Telah dilengkapi lampu kuning di setiap sisi raknya, sehingga jika malam tiba rak buku ini berevolusi menjadi poros ruang tamu. Indah. Itulah bayangan ardian. Dan memang benar, saat malam tiba ardian meminimalkan penerangan ruang tamu kemudian menyalakan lampu rak buku, seperti lentera di kegelapan.

Tumpukan buku berjajar sejajar dengan ardian seakan menatap tajam. Mungkin marah karena menjadikan mereka yang terakhir ditata, padahal mereka teman setia ardian. Terutama ketiak ardian tidak sempat menjelajah ke luar kota, buku-buku itu yang menjadi petualangannya sekalipun hanya dalam pikiran. Ardian menarika nafas dalam-dalam.

Apa besok saja aku rapihkan mereka. Pikirnya sambil menghela nafas. 

Sudah satu minggu aku menunda merapihkan mereka. Tiba-tiba ardian mengangkat tubuhnya yang sudah nyaman duduk di sofa, menuju dapur. Ia suka menikmati kopi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan penting, oleh karenanya ardian mulai memasak air.

Ia kembali ke ruang tamu, mengamati sekeliling sambil menunggu siulan teko dari dapur. Tembok telah di cat putih keabuan agar tidak terlalu terang. Sofa merah dengan meja putih bersih dijadikan poros dalam ruang tamu saat siang hari. Ruang tamu adalah tempat penting dalam hidupnya tentu karena ia masih hidup sendiri berbeda lagi jika nanti telah berkeluarga. Interaksi menjadi hal yang utama dalam ruang tamu, porosnya harus mencolok tetapi tetap memberikan ruang.

Mengapa rak buku harus diruang tamu? padahal mereka pribadi untukku.
 
Ardian kembali mengamati ruang tamu tanpa menjawab pertanyaannya sendiri. Hiasan tembok tidak ia penuhi dengan detail-detail kecil, hanya sebuah lukisan pemandangan pedesaan yang tenang, memberi kesan mendalam pada mimpi ketenangan yang sulit didapat di kota besar saat ini.

Suara teko mengejutkan lamunan ardian, kopi sudah meminta diseduh.

bersambung...

Kamis, 23 Februari 2012

Kunjungan BJ Habibie ke Kantor Manajemen Garuda Indonesia (co-pas)

Kunjungan BJ Habibie ke Kantor Manajemen Garuda Indonesia
Garuda City Complex, Bandara Soekarno-Hatta
12 Januari 2012

Tulisan di bawah ini mungkin sudah pernah dibaca di media lai
Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo.
Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta.
Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap.
Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!).
Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini?
Video N250 bernama Gatotkaca terlihat roll-out kemudian tinggal landas secara mulus di-escort oleh satu pesawat latih dan sebuah pesawat N235. Pesawat N250 jenis Turboprop dan teknologi glass cockpit dengan kapasitas 50 penumpang terus mengudara di angkasa Bandung.
Dalam video tsb, tampak para hadirin yang menyaksikan di pelataran parkir, antara lain Presiden RI Bapak Soeharto dan ibu, Wapres RI bapak Soedarmono, para Menteri dan para pejabat teras Indonesia serta para teknisi IPTN. Semua bertepuk tangan dan mengumbar senyum kebanggaan atas keberhasilan kinerja N250. Bapak Presiden kemudian berbincang melalui radio komunikasi dengan pilot N250 yang di udara, terlihat pak Habibie mencoba mendekatkan telinganya di headset yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto karena ingin ikut mendengar dengan pilot N250.
N250 sang Gatotkaca kembali pangkalan setelah melakukan pendaratan mulus di landasan..................
Di hadapan kami, BJ Habibie yang berusia 74 tahun menyampaikan cerita yang lebih kurang sbb:
“Dik, anda tahu..............saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau melanjutkan.................“Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator paling unggul, .......itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai Insinyur.........Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim dan Teknologi Dirgantara. Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan teknologi dirgantara. Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’ berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah IPTN.
Sekarang Dik,............anda semua lihat sendiri..............N250 itu bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, tenologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya 900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA. IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu.Namun, orang Indonesia selalu saja gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia bikin pesawat terbang?’
Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.
Dik tahu................di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia.............
Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa................
Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua.....................?
Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun.
Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!”
Pak Habibie menghela nafas.......................
Ini pandangan saya mengenai cerita pak Habibie di atas;
Sekitar tahun 1995, saya ditugaskan oleh Manager Operasi (JKTOF) kala itu, Capt. Susatyawanto untuk masuk sebagai salah satu anggota tim Airline Working Group di IPTN dalam kaitan produksi pesawat jet sekelas B737 yang dikenal sebagai N2130 (kapasitas 130 penumpang). Saya bersyukur, akhirnya ditunjuk sebagai Co-Chairman Preliminary Flight Deck Design N2130 yang langsung bekerja dibawah kepala proyek N2130 adalah Ilham Habibie. Kala itu N250 sedang uji coba terus-menerus oleh penerbang test pilot (almarhum) Erwin. Saya turut mendesain rancang-bangun kokpit N2130 yang serba canggih berdasarkan pengetahuan teknis saat menerbangkan McDonnel Douglas MD11. Kokpit N2130 akan menjadi mirip MD11 dan merupakan kokpit pesawat pertama di dunia yang mempergunakan LCD pada panel instrumen (bukan CRT sebagaimana kita lihat sekarang yang ada di pesawat B737NG). Sebagian besar fungsi tampilan layar di kokpit juga mempergunakan “track ball atau touch pad” sebagaimana kita lihat di laptop. N2130 juga merupakan pesawat jet single aisle dengan head room yang sangat besar yang memungkinkan penumpang memasuki tempat duduk tanpa perlu membungkukkan badan. Selain high speed sub-sonic, N2130 juga sangat efisien bahan bakar karena mempergunakan winglet, jauh sebelum winglet dipergunakan di beberapa pesawat generasi masa kini.
Saya juga pernah menguji coba simulator N250 yang masih prototipe pertama.................
N2130 narrow body jet engine dan N250 twin turboprop, keduanya sangat handal dan canggih kala itu.........bahkan hingga kini.
Lamunan saya ini, berkecamuk di dalam kepala manakala pak Habibie bercerita soal N250, saya memiliki kekecewaan yang yang sama dengan beliau, seandainya N2130 benar-benar lahir.............kita tak perlu susah-susah membeli B737 atau Airbus 320.
***
Pak Habibie melanjutkan pembicaraannya....................
“Hal yang sama terjadi pada prototipe pesawat jet twin engines narrow body, itu saya tunjuk Ilham sebagai Kepala Proyek N2130. Ia bukan karena anak Habibie, tapi Ilham ini memang sekolah khusus mengenai manufakturing pesawat terbang, kalau saya sebenarnya hanya ahli dalam bidang metalurgi pesawat terbang. Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia”.
“Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD, Q itu Quality, Dik, anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten? C itu Cost, Dik, tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis? D itu Delivery, biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu!Itu saja!”
 Pak Habibie melanjutkan penjelasan tentang QCD sbb:
 “Kalau saya upamakan, Q itu nilainya 1, C nilainya juga 1 lantas D nilainya 1 pula, jika dijumlah maka menjadi 3. Tapi cara kerja QCD tidak begitu Dik.............organisasi itu bekerja saling sinergi sehingga yang namanya QCD itu bisa menjadi 300 atau 3000 atau bahkan 30.000 sangat tergantung bagaimana anda semua mengerjakannya, bekerjanya harus pakai hati Dik..................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti merenung sejenak mengingat-ingat sesuatu ...........................
“Dik, ..........saya ini memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai saya ditunjuk menjadi Wakil Dirut perusahaan terkemuka di Jerman dan akhirnya menjadi Presiden RI, itu semua bukan kejadian tiba-tiba. Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ...........ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya............saya mau kasih informasi........... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu........................”
Pak Habibie menghela nafas panjang dan tampak sekali ia sangat emosional serta mengalami luka hati yang mendalam.............................seisi ruangan hening dan turut serta larut dalam emosi kepedihan pak Habibie, apalagi aku tanpa terasa air mata mulai menggenang.
Dengan suara bergetar dan setengah terisak pak Habibie melanjutkan........................
“Dik, kalian tau.................2 minggu setelah ditinggalkan ibu............suatu hari, saya pakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu......... Ainun......... Ainun ................. Ainun ..............saya mencari ibu di semua sudut rumah.
Para dokter yang melihat perkembangan saya sepeninggal ibu berpendapat ‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini..............’ mereka bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie’.
Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu saya diberinya 3 pilihan;
1. Pertama, saya harus dirawat, diberi obat khusus sampai saya dapat mandiri meneruskan hidup. Artinya saya ini gila dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa! 2. Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi saya di rumah, saya harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan saya harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya saya sudah gila dan harus diawasi terus............... 3. Opsi ketiga, saya disuruh mereka untuk menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah saya bercerita dengan Ainun seolah ibu masih hidup.
Saya pilih opsi yang ketiga............................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti teringat sesuatu (kita yang biasa mendengarkan beliau juga pasti maklum bahwa gaya bicara pak Habibie seperti meloncat kesana-kemari dan kadang terputus karena proses berpikir beliau sepertinya lebih cepat dibandingkan kecepatan berbicara dalam menyampaikan sesuatu) ...................... ia melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, hari ini persis 600 hari saya ditinggal Ainun..............dan hari ini persis 597 hari Garuda Indonesia menjemput dan memulangkan ibu Ainun dari Jerman ke tanah air Indonesia.............
Saya tidak mau menyampaikan ucapan terima kasih melalui surat............. saya menunggu hari baik, berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk mencari momen yang tepat guna menyampaikan isi hati saya. Hari ini didampingi anak saya Ilham dan keponakan saya, Adri maka saya, Habibie atas nama seluruh keluarga besar Habibie mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kalian, Garuda Indonesia telah mengirimkan sebuah Boeing B747-400 untuk menjemput kami di Jerman dan memulangkan ibu Ainun ke tanah air bahkan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan. Sungguh suatu kehormatan besar bagi kami sekeluarga. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Garuda Indonesia”
Seluruh hadirin terhenyak dan saya tak kuasa lagi membendung air mata..............................
Setelah jeda beberapa waktu, pak Habibie melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, sebegitu banyak ungkapan isi hati kepada Ainun, lalu beberapa kerabat menyarankan agar semua tulisan saya dibukukan saja, dan saya menyetujui.....................
Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang..... (saya lupa persisnya, namun pak Habibie menyebut 4 atau 5 bahasa asing).Sayangnya buku ini hanya dijual di satu toko buku (pak Habibie menyebut nama satu toko buku besar), sudah dicetak 75.000 eksemplar dan langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu dimana belinya. Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka.
Dik, asal you tahu............semua uang hasil penjualan buku ini tak satu rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh saya dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Kasihan mereka ini sesungguhnya bisa bekerja dengan nyaman jika bisa melihat.
Saya berikan diskon 30% bagi pembeli buku yang jumlah besar bahkan saya tambahkan lagi diskon 10% bagi mereka karena saya tahu, mereka membeli banyak buku pasti untuk dijual kembali ke yang lain.
Sekali lagi, buku ini kisah kasih universal anak manusia dari sejak tidak punya apa-apa sampai menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara. Isinya sangat inspiratif...................”
(pada kesempatan ini pak Habibie meminta sesuatu dari Garuda Indonesia namun tidak saya tuliskan di sini mengingat hal ini masalah kedinasan).
Saya menuliskan kembali pertemuan pak BJ Habibie dengan jajaran Garuda Indonesia karena banyak kisah inspiratif dari obrolan tersebut yang barangkali berguna bagi siapapun yang tidak sempat menghadiri pertemuan tsb. Sekaligus mohon maaf jika ada kekurangan penulisan disana-sini karena tulisan ini disusun berdasarkan ingatan tanpa catatan maupun rekaman apapun.
Jakarta, 12 Januari 2012
Salam,
Capt. Novianto Herupratomo