Sebongkah ransel
terkapar di atas kasur tidur. Tatapan kosongnya mengarah ke padaku. Tubuhnya pun
masih kosong, sementara tumpukan pakaian beserta berbagai peralatan berjajar di
sebelahnya.
“Mengapa pula
orang menamai kantong itu dengan nama ransel? Mengapa pula sore nanti benda itu
harus menggantung di punggungku? Tidak bisakah ia berjalan sendiri. Bahkan ketika
sedang terjaga pun aku harus was-was memikirkan keselamatannya. Mengapa pula
yang namanya ransel – yang bahkan menjaga dirinya sendiri pun tidak bisa –
harus ikut dalam setiap perjalananku?”. Begitulah pikiranku yang dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan bodoh. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan bodoh itu adalah sinyal
untukku. Ya, sinyal bahwa sebentar lagi aku akan melakukan sesuatu yang
sebenarnya tidak aku suka. Dan pada kesempatan kali ini sesuatu itu adalah travelling.
“Siapa yang
suka travelling?”. Pertanyaan macam
apa itu. Tentu semua orang suka, kecuali aku. Untukku, travelling hanya indah di 2 panca indra; pertama adalah pendengaran,
yaitu saat kamu mendengar cerita dari seseorang yang baru saja melakukan travelling. Sayangnya terkadang atau
sebagian besar cerita membosankan dan tidak menyenangkan telah disortir untuk
tidak keluar dari mulut mereka; kedua adalah penglihatan, yaitu saat kamu
melihat kumpulan foto selama perjalanan mereka. Sayangnya foto adalah tipu muslihat
paling menjengkelkan – sangat menjengkelkan! – karena hal yang biasa bisa
terlihat luar biasa dalam bingkai foto.
Bukan hanya
itu yang membuat aku tidak menyukai travelling,
tetapi juga sebuah kenyataan bahwa lebih dari 80% perjalananku berisi
ketersesatan, sekalipun telah kukumpulkan segenap keberanian untuk bertanya
pada orang di tempat wisata. Dan kenyataan pahit lainnya bahwa biaya travelling yang aku habiskan lebih mahal
dari pada mengambil paket wisata.
Aku benar-benar
tidak memiliki dasar untuk menyukai travelling secara mandiri. Pengalaman itulah
yang aku ajukan saat satu bulan lalu kami – aku, dan 6 teman lama – bertemu. Berjuta
pertanyaan mengalir padaku, berawal dari berapa kali aku sudah melakukan travelling hingga berbagai hal detail
selama perjalananku. Tentu aku tidak memiliki banyak pilihan selain meladeni
pertanyaan mereka dan menghanyutkan mereka dalam fantasi melalui kedua panca
indra yang tadi telah aku jelaskan. Hebatnya lagi, mereka semua langsung
memutuskan saat itu juga kemana dan kapan kami harus melakukan perjalanan. Dalam
hati aku hanya bisa tercengang. Lemas. Padahal aku sudah bertekad untuk tidak
melakukan perjalanan sepanjang tahun ini, karena dalam perjalanan terakhirku
aku terdampar di sebuah pulau di timur Sulawesi selama 1,5 bulan tanpa listrik,
karena dua kapal penyebrangan mengalami kerusakan. Dari kejadian itu aku
berkesimpulan bahwa berkembangnya wisata di suatu wilayah tidak dapat meningkatkan
ekonomi wilayah itu, tetapi yang pasti adalah mengganggu ekonomi salah satu
warga di sana karena kami telah kehabisan uang saat itu dan sangat membutuhkan
uluran tangan.
Tentu aku
tidak tinggal diam saat teman-temanku sudah memutuskan akan pergi kemana. Setidaknya
aku tidak ingin kebodohanku selalu terulang. Aku mencoba menawarkan paket
wisata. Apalagi tempat yang mereka inginkan telah sangat lazim dan banyak paket
wisatanya. Nyatanya diskusi paket wisata hanya butuh waktu 5 menit untuk
ditolak. Aku lemas di atas kursi.
Berkemas. Kegiatan
terakhir dalam persiapan melakukan perjalanan. Kegiatan yang untukku tingkat
kepentingannya terendah karena aku selalu berfikir jika perjalanan yang
dilakukan adalah perjalanan singkat dan tergolong dekat kenapa aku harus bawa
sabun, sampo, dan peralatan lain yang sangat mudah dicari dan aku sangat yakin
harganya relatif sama dimanapun. Pakaian, percayalah seberapapun banyaknya
pakaian yang kalian bawa kalian akan tetap terlihat lusuh dan menyedihkan
karena ribuan penderitaan dalam perjalanan, dan jangan berharap pakaian bisa
membuat anda terlihat menawan, ia hanya berpengaruh sangat sedikit terhadap
penampilan kita.
Telpon genggamku
tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan singkat dari Andhara.
Inget ya, jam 4 di terminal. Jangan telat!
Aku menatap
lurus jam dinding yang bertengger di tembok. Jam 15.30. “Aduh, sampai dimana tadi
aku berkemas? Pasti telat.”
Hahaha.. lucu.. Bikin tulusan lagi dong..
BalasHapus