Minggu, 21 November 2010

Berkata dalam Diam, Bahagia dalam Kesepian


Ini adalah hari ke-21. Hari ke-21 ia menanti di pagi buta, ketika remang-remang cahaya matahari belum juga tiba. Ketika bulan masih menghiasi langit ramun. Ia sendiri duduk di teras menanti seseorang – atau sesuatu. Sesuatu yang ia tahu akan hadir. Pasti hadir. Dan ia menanti lebih dini, tidak mau tertinggalan barang sedetikpun.
Ini adalah hari ke-21 ia menjadi pencinta azan subuh. Azan yang melantun berbeda dengan azan-azan lain. Azan yang terlantun lembut seperti musik jazz yang lembut tetapi beritme menggairahkan. Keserasian antara ujung malam dengan lantunan lembut azan subuh selalu membuat ia terdistorsi.
Ini adalah hari ke-21 yang telah ia lewatkan setelah sebelumnya tanpa sengaja ia terbangun begitu pagi dan mendengar seseorang seperti bernyanyi dikejauhan dengan bahasa yang tidak ia mengerti tetapi terdengar memanggil. Kala itu, ia keluar berdiri di teras sendirian, menikmati 3 menit terindah. Dan setelah itu ia tidak pernah melewatan pagi buta untuk kembali ber-deja vu dengan kesepian.
Ini adalah hari ke-21 ia terbangun sebelum pukul 3 pagi. Ia basuh wajah, lengan, dan kaki untuk menghilangkan kantuk dan menyegarkan kesadarannya karena tak lama lagi ia akan menikmati momen subuh terbaik saat azan. Ia tuang air putih ke dalam gelas, meletakkan gelas di meja teras dan ia mulai menanti momen itu.
Ia adalah orang mapan yang hidup sendiri. Hidup sendiri mungkin telah menyajikan kesepian yang teramat di usianya yang telah mencapai ujung kepala tiga. Tanpa keluarga. Hanya kerabat yang sesekali datang. Kesepian telah menggerogoti hatinya membuatnya menjadi seorang yang sangat melankolis. Ia melawan kesepian dengan kesepian untuk mendapat kebahagiaan.
Malam tadi ia baru tidur 2 jam, kerjaannya terlalu menumpuk. Tetapi ia selalu memilih untuk tidak melanjutkan tidurnya jika jam di dinding kamarnya menunjuk angka tiga, ia akan tetap menanti lantunan indah itu.
Mengenai kesepiannya, tidak ada sisa hari selain pagi buta yang mampu mengobatinya. Tengah hari selalu ia habiskan di belakang meja kerja. Sebagai seorang akuntan, komputer yang membuatnya bersikap seperti robot hidup telah menjadi teman sejati. Teman sejati? Sebutan macam apa itu. Teman yang sejatinya menghadirkan kebahagiaan justru menghancurkannya menjadi manusia yang tidak lagi manusiawi. Tidak jauh berbeda begitu malam menjelma, kemacetan menjadi sahabat temporarinya hingga ia tidak lagi mampu menikmati malam, terlebih hujan malam yang semestinya mampu menghadirkan kehangatan, justru hanya keluh yang ia rasakan.
Tidak lama lagi penantiannya. Ia selalu memiliki kekuatan dalam penantiannya. Ya, sama seperti 4 tahun yang lalu ketika ia menanti kekasih hatinya di meja makan yang telah ia persiapkan dengan begitu baik. Itu adalah waktu yang tepat untuk mengatakan rencana masa depannya dengan sang kekasih. Ketika hatinya bercahaya remang seperti lilin di meja makan, begitu sempurna persiapannya. Berbeda dengan penantiannya pada azan subuh yang pasti datang, kekasih hatinya tak kunjung datang hingga lilin remang itu tertiup angin malam dan dingin menggigit. Hatinya ikut padam.
Apakah ia marah dengan kejadian itu? Entahlah, siapa yang tahu selain dirinya. Tidak ada lagi yang ia nanti setelah malam itu hingga 21 hari yang lalu, ia menemukan sesuatu yang bisa ia nanti. Sesuatu yang pasti kedatangnya. Sesuatu yang tidak lagi membuatnya patah hati. Sesuatu yang tidak akan membuatnya kecewa. Azan subuh.
Tidak lama lagi. Sedikit lagi akan datang. Penantiannya telah sempurna, kebahagiaan ke-21 tak lama lagi.
Allahuakbar... Allahuakbar....
Ahh... tiba juga. Ia berhenti menanti. Ia pejamkan matanya. Ia fokuskan pendengarannya.
3 menit terindah dalam satu hari.
***
Ia masih terdiam setelah azan subuh berakhir. Matanya masih terpejam, nafasnya dalam. Pintu rumah sebelah rumahnya terbuka, seorang wanita berbusana panjang keluar berjalan perlahan menuju sumber azan subuh. Orang-orang lain mulai mengikuti. Ia melangkah masuk, menutup pintu kemudian menuju kamarnya. Mendudukkan diri tepat di depan kasurnya. Ia telungkupkan telapak tangannya. Matanya kembali terpejam, kepalanya tertunduk khusyuk. Kembali kebahagiaan hadir dalam kesunyian yang remang di kamarnya. Di hadapannya terpahat salib dengan putra Tuhan yang lesu namun terlihat tegar dan kuat. Ia mulai doa pagi.
“Tuhan, Kau telah pertemukan aku dengan kekasih sejati yang menghadirkan kebahagiaan sesungguhnya pada ku. Izinkan aku menemuinya dan izinkan aku tetap bersamanya hingga akhir hidupku.”
Jatinangor, 20 Oktober 2010