Selasa, 13 Juli 2010

Kenapa Hujan?


Sudah 3 hari ini hujan selalu turun di sore hari. Membuat ku terjebak di halte reot dengan atap bocor. Menyebalkan juga mengalami kejadian seperti ini berturut-turut. Pagi terlalu cerah untuk dicurigai akan turun hujan, sehingga tak ku siapkan payung dalam tas. Siang terlalu terik, sehingga tak ku percepat setumpuk tugas untuk diselesaikan. Dan kembali aku terhenti di halte ini untuk ketiga kalinya.
Sebenarnya aku membawa payung lipat pagi ini. Walupun cerah, aku tidak mau tertipu lagi seperti hari-hari sebelumnya. Dan benar saja, sore ini kembali hujan. Sayang, hujan beserta angin kencang membuat payung ku tidak banyak bermanfaat, jadi ku pikir lebih baik berdiam di halte ini sambil menunggu taksi.
Kakak-adik itu duduk sekitar 1 meter di sebelah ku. Kelihatannya sore ini hujan bukan hanya mengerjai ku. Payung yang terlalu kecil untuk mereka berdua pasti tidak berguna saat ini. Sepatu mereka sudah lepek. Kasihan juga melihat mereka, bisa jadi besok mereka sakit.
Sudah 1 jam. Hujan tidak kunjung mereda. Kami hanya membeku melihat butiran-butiran air yang terbawa angin. Jalanan sepi dan taksi ku tak kunjung datang. Mata ku kosong menatap hujan, pikiran ku membayangkan kamar yang hangat, tidur berselimut hangat dan nyaman. Sampai kapan hujan ini? Sampai kapan taksi datang? “Kak, lama banget hujannya.” Keheningan terlalu pekat untuk memulai percakapan antara kakak-adik ini. “Kak!” lanjut si adik memaksa memulai percakapan. “Iya, mungkin masih lama lagi baru reda. Salah bawa payung ni. Kalo bawa yang besar pasti kita sudah di rumah.” Jawab kakak yang masih sedikit malas meladeni, tetapi percakapan mereka sudah dimulai.
“Kak, aku suka hujan.”
“Kenapa?”
“Dingin.”
“Iya, biasanya kalau kita pulang selalu kepanasan ya.”
Ga banyak kendaraan.”
“Kakak, juga suka hujan.”
“Kenapa,ka?”
“Jadi sepi. Waktu seperti berhenti.”
“Iya, jadi ada alasan telat pulang.”
Lamunan ku akhirnya terusik juga mendengar mereka. Selama 3 hari ini tidak pernah terpikir sedikit pun ‘apa aku suka hujan?’. Yang jelas hujan ini telah mengganggu waktu istirahat ku. Menjebak ku di halte yang sama.
“Kak, tadi di kelas teman aku bacain puisi tentang hujan.”
“Mmm.. judulnya apa?”
“’Hujan di Laut’.”
“Kemarin, kakak baca cerpen tentang hujan. Judulnya ‘Kaki Tangan Hujan’.”
“Kenapa ya, kak? Hujan suka jadi tema tulisan.”
“Kakak juga ga tau. Kita suka hujan, mungkin banyak orang yang juga suka hujan.”
Dari sudut mata ku perhatikan mereka. Sedikit terbesit di ingatan ku tentang sejumlah hujan yang pernah ku alami. Sebagian memang menginspirasi ku menulis cerpen di Koran minggu, sebelum aku bekerja di kantor. Membuat ku menjalani rutinitas yang terus sama setiap harinya. Menghentikan hobi menulis ku yang sejak kecil sudah tumbuh. Kapan aku terakhir menulis?
“Dik, kita lari saja yuk! Lama hujannya. Sampai rumah langsung mandi, jadi ga sakit.”
“Sebentar lagi kak.”
“Kak, punya makanan ga? Lapar…”
“Cuma sisa makan siang, ga apa-apa?”
“Iya.”
Lamunan ku berlanjut lagi. Kapan aku terakhir menulis? Mengirimnya ke Koran. Berharap cemas di hari minggu, apakah kiriman ku dimuat? Sedikit-sedikit aku masih mengingat masa itu. Tidak banyak materi yang ku dapat dari hobi menulis, tetapi aku selalu menyukainya. Pikiran ku seperti sudah terkunci dalam rutinitas setelah gelar sarjana melekat di belakang nama ku. Awalnya melamar kerja, kemudian kerja dan kerja. Terus-menerus hingga hari ini. Suara tetesan air hujan menyentuh atap halte, menyentuh tanah, aroma hujan seketika memunculkan keheningan yang telah lama tidak lagi ku rasakan. Waktu ku terasa menjadi lapang. Ya, sudah lama rasanya.
Sebuah taksi lamat-lamat terlihat dari kejauhan. Lampu di atas-nya yang menyala menandakan taksi ini harus aku hentikan. Ku tengok sekilas kakak-adik yang sedang berlari menjauh dari halte. Semoga mereka tidak sakit besok.
“Kemana, Pak?”
Malam ini teman ku adalah laptop. Bukan selimut hangat. Aku akan menulis lagi. Aku tahu temanya.
Hujan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar