Sabtu, 01 Oktober 2011

Cinta Paling Nyata


Cinta Paling Nyata
Oleh Kunto Nugroho

Kekasih telah tiada, merajang nyawa dalam api membara. Ruhnya melayang di jagat semesta, mencari jasad baru yang belum mampu mengucapkan kata.

Kekasih telah tiada, tetapi segalanya tetap sama. 

Pagi hari kita masih bersama pergi ke taman dengan Kinan, anjing kesayanganmu. Sebelum akhirnya aku pergi bekerja kamu masih sempat mengecup keningku dengan bibir mungilmu. Bibir mungil yang memerah dengan gincu murah pemberianku. Sore hari kita bertemu menikmati mocha frappe di cafe kegemaranmu. Selepas itu kita masih sempat pergi ke bar menikmati bir yang membuat aku dan kamu melayang, melupakan kejadian kematianmu yang mengenaskan. Getir. Sampailah malam, aku dan kamu masih bersama melewati malam berteman desahan kenikmatan di atas ranjang besar dengan lampu redup menyamarkan pandangan penuh kemabukkan.

Kebersamaan kita memang tidak pernah pergi sekalipun jasadmu telah tiada. Jasad seakan tidak lagi penting untuk kita. Aku dan kamu, yang selalu bersama di setiap waktu telah melupakan batasan fisik. Kita terpendam bersama setiap saat, bahkan ketika aku berada di kantor kamu seakan tidak pernah melepaskan perhatian padaku, menatapkan dari jarak sangat dekat. Lekat. Tanpa sekat. Aku tidak terganggu. Tidak pernah. Aku senang kamu selalu di sisiku. Menemaniku yang hampir pernah ikut kehilangan ruh, sebelum kamu dengan cepat menemukan jasad kosong, kemudian terus menemaniku hingga hari ini. Terkadang aku bersyukur lidah api melilit habis jasadmu. Dengan begitu ternyata kita semakin dekat. Semakin tiada batas. Bebas.

Tidak pernah kata bosan menghampiriku, sekalipun aku selalu melewati rutinitas kerja yang sama. Sekalipun pertemuan kita selalu setiap saat, setiap menit, setiap detik jam yang berdentik ringan. Waktu berjalan tanpa pernah berhenti untuk istirahat, seperti cintaku padamu.

Aku tidak membutuhkan orang lain dalam hidupku, kerena kamu. Karena kamu yang selalu bersamaku di setiap waktu hidupku. Tetapi sekali malam kamu pernah berkhianat! Pergi tanpa meninggalkan pesan untukku. Aku kalut malam itu, berusaha memikirkanmu namun aku tidak lagi ingat wujudmu. Aku meraung-raung karena kebingungan hendak mencarimu ke mana. Kutenggak wiski sepuluh botol langsung tanpa jeda, wajahku sudah memerah seperti bibirmu, tak lama cairan perut mulai bergejolak keluar disertai makanan yang tadi sore kita makan bersama. Aku masih meraung hingga lelah menghampiri dan aku tertidur di kamar mandi.

Pagi hari kamu kembali. Aku membentakmu dengan kasar tetapi kamu hanya diam tertunduk tanpa menjelaskan prihal kepergianmu. Aku memelukmu dalam-dalam atas rasa cinta yang memang masih sangat kuat, dan kamu berjanji tidak pergi lagi barang sedetik pun. 

Sebelum aku ke kantor kita masih sempat membuat bekal bersama disertai bercinta penuh hasrat karena kerinduanku semalam. Kecupan kecil kamu tambatkan di dahiku sebelum aku memasuki mobil.
Hari demi hari berlalu, tanpa kamu pernah meninggalkanku lagi sedetikpun. Hubungan kita semakin intim. Aku berniat manikahimu atas komitmenku padamu. Ya,  malam itu di restoran yang empat tahun lalu kusampaikan isi hatiku, kali ini akan kusampaikan niat besarku mengajakmu ke pelaminan. Aku merahasiakan niatku, tentunya ingin menjadikan ini semua kejutan untukmu. Aku berusaha menebar humor ringan memastikan suasana hatimu baik. Tawa kecil kita membahana di seisi restoran, samar memang terdengar. Aku berharap tidak ada yang terganggu dengan tawa kita, tetapi sesekali orang-orang  melirik aneh pada kita. Apakah aneh ada yang gembira di sini? Entahlah, aku tidak terlalu mempedulikan. Atau memang tidak peduli. Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan lirikan semacam itu di saat kita sedang bersama, bersanda gurau, bermesraan, atau bertengkar kecil sekalipun.

Setiap orang mencari kebahagiaan, termasuk aku. Demi kebahagiaan itu aku indahkan rasa risih dilirik aneh yang mungkin untuk banyak orang merasa risih dilirik semacam itu. Aku ingin bahagia, dan malam itu benar-benar terjadi. Kamu menerimaku. Menerima lamaranku. Kita akan menikah. Kita akan memiliki anak. Anak kita! Hidup kita tidak akan lagi hanya berdua. Berapa banyak anak yang ingin kamu miliki? Dua. Tiga. Empat. Atau sepuluh! Cintaku tidak akan pernah hilang padamu. Kita akan terus bersama.

Kapan kita menikah? Biar nanti kita bicarakan masalah itu bersama. Malam ini aku ingin kita lebih intim. Menikmati redup sinar bulan di teras, tanpa bir, tanpa obat-obat penenang dari psikiater yang sering diberikan padaku. Aku ingin menjalani malam ini dalam kesadaran penuh.

***

Ternyata pernikahan kita tidak pernah terjadi. Kamu meninggalkanku setelah malam penuh cinta dengan kesadaran penuh itu kita lewatkan. Ternyata malam-malam yang dipenuhi alkohol dan obat penenang jauh lebih indah dibanding malam dengan kesadaran. Kemana kamu? Dimana aku bisa mencarimu? Apakah cintaku tidak berarti untukmu? Kamu bosan? Semalam kamu terlihat bahagia dengan rencana kita. Kenapa Kasih?

Hari demi hari berlalu. Kamu tidak lagi pernah hadir dalam detik-detik kehidupanku. Aku ikut pergi, dari satu tempat baru ke tempat baru lainnya. Mencarimu. Berharap ruhmu menemukan jasad baru, dan kita bisa kembali bersama.

***

Kekasih telah tiada, merajang nyawa dalam api membara. Ruhnya melayang di jagat semesta, mencari jasad baru yang belum mampu mengucapkan kata.

Aku hanya mampu menatap tubuhmu tenggelam dalam lautan api. Tanpa kata. Kemudian kamu hadir. Seketika pikiranku terisi oleh mu.

Jatinangor, 22 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar