Senin, 10 Januari 2011

Dialog dengan Sahabat Palsu


Asap rokok melayang pelan ke langit-langit kamar. Warnanya putih, semakin memenuhi seisi kamar yang minim ventilasi ini. Kembali ku hembuskan asap dari sebatang rokok yang saat ini tinggal setengahnya. Kali ini asapnya bawel – terlalu banyak bicara.
“Hei, buka pintu kamarmu. Sumpek!”
“Aku masih ingin mengamati kalian berebut ruang.”
“Kejam sekali kamu ini.”
“Biar saja, kekejamanku sudah tanggung.”
“Tidak cukup kamu mengiksa tubuhmu?”
“Bagaimana kabar paru-paruku?”
“Pertama, ia bukan paru-paru milikmu. Kedua, tadi ia kembali menangis.”
“Menangis? Mengapa?”
“Plak hitamnya semakin banyak.”
“Oh.”
“Ia titip pesan untuk mu.”
“Apa?”
“Berhenti merokok. Aku sudah ingatkan padanya, pesan semacam itu tidak akan didengar.”
“Ya.”
Akhirnya ia diam juga. Samar bisikannya masih ku dengar, dan pandanganku juga mulai samar karena tebalnya asap. Ku buka pintu. Menyaksikan asap-asap berpamitan.
Hanya nikotin dan bau asap yang mereka tinggalkan.
Jatinangor, 4 Januari 2010. 20.30 WIB

4 komentar:

  1. kritik dikit ya... saya juga bukan cerpenis. tapi membaca kata2 yg terakhir agak tersendat2 krn banyak kata yg diulang.

    BalasHapus
  2. makna nya bagus tuh buat perokok.

    Blog nya udah ane follow, follow back yaa. Salam blogger

    BalasHapus
  3. trimakasih bung Iwan sm mas Indra. sy sangat menerima kritik, apalagi emang lg blajar. hehehehe

    BalasHapus
  4. ternyata...ada juga sahabat palsu...wah...wah...wah...

    BalasHapus